SETIAP 10 Oktober, masyarakat internasional memperingati Hari Kesehatan Jiwa Sedunia. Pada tahun ini tema yang diusung adalah Living With Schizophrenia (Hidup dengan Skizofrenia). Apakah itu Skizofrenia?
Walaupun mungkin istilah skizofrenia ini terdengar asing bagi kita,
namun ini sebenarnya merujuk ke penyakit gangguan jiwa berat yang umum
kita temui. Dalam istilah sehari-hari, kita sering melabel penderitanya
dengan istilah gila atau pungo.
Berbeda dengan gangguan jiwa
ringan seperti depresi, pada kasus gangguan jiwa berat, penderitanya
tidak mampu membedakan mana yang nyata dan yang tidak. Mereka dapat
“mendengar” suara-suara atau “melihat” penampakan yang sebenarnya tidak
ada. Dalam pikiran mereka muncul bisikan-bisikan dan sosok bayangan
khayalan. Seringkali mereka juga memiliki keyakinan akan sesuatu yang
tidak wajar, misalnya menganggap diri Tuhan atau merasa dikejar-kejar
oleh makhluk gaib. Terjebak dalam masalah ini, penderita gangguan jiwa
berat akan terlihat bersikap aneh serta kesulitan dalam merawat diri,
bersosialisasi, dan bekerja.
Aceh terbanyak
Di Indonesia, Aceh merupakan daerah dengan jumlah penderita gangguan jiwa berat terbanyak. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2013, sekitar 0,27 persen dari penduduk Aceh menderita gangguan jiwa berat. Persentase ini jauh melampaui persentase total Nasional yang hanya 0,17 persen. Dengan populasi yang berkisar antara 4 juta jiwa, maka setidaknya ada 10 ribu penderita penyakit ini di Aceh.
Di Indonesia, Aceh merupakan daerah dengan jumlah penderita gangguan jiwa berat terbanyak. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2013, sekitar 0,27 persen dari penduduk Aceh menderita gangguan jiwa berat. Persentase ini jauh melampaui persentase total Nasional yang hanya 0,17 persen. Dengan populasi yang berkisar antara 4 juta jiwa, maka setidaknya ada 10 ribu penderita penyakit ini di Aceh.
Tingginya
jumlah penderita gangguan jiwa berat di Aceh merupakan akibat dari
kombinasi berbagai faktor penyebab, diantaranya status ekonomi yang
rendah, riwayat konflik berkepanjangan, riwayat bencana tsunami, dan
juga maraknya penggunaan zat terlarang seperti ganja. Dengan peredaran
ganja yang luas, tidak heran jika banyak pemuda Aceh yang dapat dengan
mudah mendapatkan ganja bahkan mungkin dengan harga yang relatif lebih
murah.
Kalau kita mau berkaca, “prestasi” tingginya jumlah
penderita gangguan jiwa berat di Aceh, bisa jadi tak terlepas dari
kontribusi kita dalam memeliharanya. Gangguan jiwa berat sebenarnya
dapat disembuhkan dengan pengananan yang cepat dan tepat. Sayangnya kita
kurang peka, sehingga tanpa sadar banyak keluarga penderita dan
lingkungan di Aceh yang menghambat penanganan, mencetus kekambuhan, atau
malah memperberat penyakit tersebut.
Banyak yang menganggap
pengobatan gangguan jiwa berat adalah semata-mata tugas rumah sakit,
padahal bagian terpenting justru pada saat mereka telah keluar. Tidak
semua gangguan jiwa berat membutuhkan perawatan di rumah sakit, hanya
yang memiliki kecenderungan menyakiti diri sendiri atau orang lain.
Setelah masa kritis teratasi, para penderita akan kembali lagi ke rumah
mereka: ke tengah-tengah keluarga dan lingkungan tempat tinggal.
Penderita
gangguan jiwa berat akan menghabiskan sebagian besar waktu mereka
berama keluarga setelah keluar dari rumah sakit. Para penderita yang
cenderung memiliki ketergantungan lebih terhadap keluarga akibat
keterbatasannya ini akan menuntut perhatian ektra. Perhatian yang baik
dan positif dari keluarga akan mencegah kekambuhan dari penyakit
tersebut, dan sebaliknya, perlakuan yang tidak baik akan memperlambat
penyembuhan dan mencetuskan kekambuhan.
Sayangnya, banyak
keluarga tidak memperlakukan dengan baik anggota keluarganya yang
menderita gangguan jiwa. Keluarga yang tidak sabar terhadap perilaku
penderita dapat menjadi kesal dan marah. Pada banyak kasus yang penulis
jumpai, penderita gangguan jiwa sering tidak dibolehkan berkumpul
bersama keluarga, meskipun hanya sekadar makan atau nonton TV bersama.
Mereka juga tidak pernah dimintai pendapat dan sering dibandingkan oleh
anggota keluarga yang lain hanya karena latar belakang pendidikan atau
pekerjaan yang rendah. Padahal seharusnya mereka harus diberi
penghargaan atas setiap yang mereka capai.
Selain keluarga,
lingkungan tempat tinggal penderita gangguan jiwa berat juga bertanggung
jawab dalam menciptakan suasana yang kondusif untuk penyembuhan. Usaha
keluarga untuk mendukung penyembuhan akan sia-sia apabila penerimaan
masyarakat buruk. Tidak jarang para penderita dikucilkan sekembalinya
dari rumah sakit. Mereka juga kehilangan jabatan di tempat kerja bahkan
sampai dipecat karena dianggap tidak layak bekerja lagi. Semua ini
membuat para penderita kehilangan kesempatan untuk berperan dalam
masyarakat yang lambat-laun akan menjadi stressor tersendiri dan mencetuskan kekambuhan.
Di
lingkungan tempat tinggal yang tidak kondusif, kekerasan emosional bisa
rutin menghadang para penderita gangguan jiwa berat. Sehari-hari mereka
dimarahi, dihina, diejek, dan dilecehkan, Dalam kondisi yang lebih
ekstrem, tidak jarang mereka juga mengalami kekerasan fisik seperti
dipukul, diikat, dikurung, bahkan sampai dipasung. Cedera fisik dan
psikis berulang yang mereka alami terus menerus ini akan menyisakan
trauma yang mendalam.
Perlakuan negatif
Semua perlakuan negatif tersebut adalah akibat dari stigma atau citra buruk tentang penderita gangguan jiwa berat yang beredar di masyarakat. Sudah menjadi anggapan umum bahwa penderita gangguan jiwa berbahaya dan tidak berguna. Walaupun kenyataannya tidak demikian karena apabila mendapat pengobatan maksimal seorang penderita gangguan jiwa berat dapat beraktivitas layaknya manusia normal.
Semua perlakuan negatif tersebut adalah akibat dari stigma atau citra buruk tentang penderita gangguan jiwa berat yang beredar di masyarakat. Sudah menjadi anggapan umum bahwa penderita gangguan jiwa berbahaya dan tidak berguna. Walaupun kenyataannya tidak demikian karena apabila mendapat pengobatan maksimal seorang penderita gangguan jiwa berat dapat beraktivitas layaknya manusia normal.
Tidak adil rasanya, apabila
hanya karena adanya citra negatif mereka harus mengalami diskriminasi
dan berbagai kekerasan fisik serta psikis. Di zaman modern ini, di mana
setiap manusia berhak mendapatkan kebebasan dan kemerdekaan, rasanya
ironis masih ada manusia yang dirampas hak hidupnya hanya karena sebuah
penyakit yang tidak pernah diinginkannya dan karenanya dia tidak bisa
mendapatkan kehidupan yang layak.
Kalau ada waktu bagi kita untuk
menjadi lebih peka terhadap penderita gangguan jiwa, maka sekaranglah
saatnya. Mulailah dengan belajar berempati dan menghargai mereka
selayaknya manusia. Mereka juga bagian dari kita. Kalau mereka boleh
memilih, tentunya mereka ingin hidup sehat dan normal, tetapi takdir
kehidupan membuat mereka harus menderita penyakit tersebut. Kalau bukan
kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?
dr. Fazia, Dokter Umum, Pemerhati Kesehatan Jiwa di Aceh. Email: fazia.mahdi@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar