Minggu, 12 Oktober 2014

Hidup dengan ‘Skizofrenia’

SETIAP 10 Oktober, masyarakat internasional memperingati Hari Kesehatan Jiwa Sedunia. Pada tahun ini tema yang diusung adalah Living With Schizophrenia (Hidup dengan Skizofrenia). Apakah itu Skizofrenia? Walaupun mungkin istilah skizofrenia ini terdengar asing bagi kita, namun ini sebenarnya merujuk ke penyakit gangguan jiwa berat yang umum kita temui. Dalam istilah sehari-hari, kita sering melabel penderitanya dengan istilah gila atau pungo.
Berbeda dengan gangguan jiwa ringan seperti depresi, pada kasus gangguan jiwa berat, penderitanya tidak mampu membedakan mana yang nyata dan yang tidak. Mereka dapat “mendengar” suara-suara atau “melihat” penampakan yang sebenarnya tidak ada. Dalam pikiran mereka muncul bisikan-bisikan dan sosok bayangan khayalan. Seringkali mereka juga memiliki keyakinan akan sesuatu yang tidak wajar, misalnya menganggap diri Tuhan atau merasa dikejar-kejar oleh makhluk gaib. Terjebak dalam masalah ini, penderita gangguan jiwa berat akan terlihat bersikap aneh serta kesulitan dalam merawat diri, bersosialisasi, dan bekerja.
 Aceh terbanyak
Di Indonesia, Aceh merupakan daerah dengan jumlah penderita gangguan jiwa berat terbanyak. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2013, sekitar 0,27 persen dari penduduk Aceh menderita gangguan jiwa berat. Persentase ini jauh melampaui persentase total Nasional yang hanya 0,17 persen. Dengan populasi yang berkisar antara 4 juta jiwa, maka setidaknya ada 10 ribu penderita penyakit ini di Aceh.
Tingginya jumlah penderita gangguan jiwa berat di Aceh merupakan akibat dari kombinasi berbagai faktor penyebab, diantaranya status ekonomi yang rendah, riwayat konflik berkepanjangan, riwayat bencana tsunami, dan juga maraknya penggunaan zat terlarang seperti ganja. Dengan peredaran ganja yang luas, tidak heran jika banyak pemuda Aceh yang dapat dengan mudah mendapatkan ganja bahkan mungkin dengan harga yang relatif lebih murah.
Kalau kita mau berkaca, “prestasi” tingginya jumlah penderita gangguan jiwa berat di Aceh, bisa jadi tak terlepas dari kontribusi kita dalam memeliharanya. Gangguan jiwa berat sebenarnya dapat disembuhkan dengan pengananan yang cepat dan tepat. Sayangnya kita kurang peka, sehingga tanpa sadar banyak keluarga penderita dan lingkungan di Aceh yang menghambat penanganan, mencetus kekambuhan, atau malah memperberat penyakit tersebut.
Banyak yang menganggap pengobatan gangguan jiwa berat adalah semata-mata tugas rumah sakit, padahal bagian terpenting justru pada saat mereka telah keluar. Tidak semua gangguan jiwa berat membutuhkan perawatan di rumah sakit, hanya yang memiliki kecenderungan menyakiti diri sendiri atau orang lain. Setelah masa kritis teratasi, para penderita akan kembali lagi ke rumah mereka: ke tengah-tengah keluarga dan lingkungan tempat tinggal.
Penderita gangguan jiwa berat akan menghabiskan sebagian besar waktu mereka berama keluarga setelah keluar dari rumah sakit. Para penderita yang cenderung memiliki ketergantungan lebih terhadap keluarga akibat keterbatasannya ini akan menuntut perhatian ektra. Perhatian yang baik dan positif dari keluarga akan mencegah kekambuhan dari penyakit tersebut, dan sebaliknya, perlakuan yang tidak baik akan memperlambat penyembuhan dan mencetuskan kekambuhan.
Sayangnya, banyak keluarga tidak memperlakukan dengan baik anggota keluarganya yang menderita gangguan jiwa. Keluarga yang tidak sabar terhadap perilaku penderita dapat menjadi kesal dan marah. Pada banyak kasus yang penulis jumpai, penderita gangguan jiwa sering tidak dibolehkan berkumpul bersama keluarga, meskipun hanya sekadar makan atau nonton TV bersama. Mereka juga tidak pernah dimintai pendapat dan sering dibandingkan oleh anggota keluarga yang lain hanya karena latar belakang pendidikan atau pekerjaan yang rendah. Padahal seharusnya mereka harus diberi penghargaan atas setiap yang mereka capai.
Selain keluarga, lingkungan tempat tinggal penderita gangguan jiwa berat juga bertanggung jawab dalam menciptakan suasana yang kondusif untuk penyembuhan. Usaha keluarga untuk mendukung penyembuhan akan sia-sia apabila penerimaan masyarakat buruk. Tidak jarang para penderita dikucilkan sekembalinya dari rumah sakit. Mereka juga kehilangan jabatan di tempat kerja bahkan sampai dipecat karena dianggap tidak layak bekerja lagi. Semua ini membuat para penderita kehilangan kesempatan untuk berperan dalam masyarakat yang lambat-laun akan menjadi stressor tersendiri dan mencetuskan kekambuhan.
Di lingkungan tempat tinggal yang tidak kondusif, kekerasan emosional bisa rutin menghadang para penderita gangguan jiwa berat. Sehari-hari mereka dimarahi, dihina, diejek, dan dilecehkan, Dalam kondisi yang lebih ekstrem, tidak jarang mereka juga mengalami kekerasan fisik seperti dipukul, diikat, dikurung, bahkan sampai dipasung. Cedera fisik dan psikis berulang yang mereka alami terus menerus ini akan menyisakan trauma yang mendalam.
 Perlakuan negatif
Semua perlakuan negatif tersebut adalah akibat dari stigma atau citra buruk tentang penderita gangguan jiwa berat yang beredar di masyarakat. Sudah menjadi anggapan umum bahwa penderita gangguan jiwa berbahaya dan tidak berguna. Walaupun kenyataannya tidak demikian karena apabila mendapat pengobatan maksimal seorang penderita gangguan jiwa berat dapat beraktivitas layaknya manusia normal.
Tidak adil rasanya, apabila hanya karena adanya citra negatif mereka harus mengalami diskriminasi dan berbagai kekerasan fisik serta psikis. Di zaman modern ini, di mana setiap manusia berhak mendapatkan kebebasan dan kemerdekaan, rasanya ironis masih ada manusia yang dirampas hak hidupnya hanya karena sebuah penyakit yang tidak pernah diinginkannya dan karenanya dia tidak bisa mendapatkan kehidupan yang layak.
Kalau ada waktu bagi kita untuk menjadi lebih peka terhadap penderita gangguan jiwa, maka sekaranglah saatnya. Mulailah dengan belajar berempati dan menghargai mereka selayaknya manusia. Mereka juga bagian dari kita. Kalau mereka boleh memilih, tentunya mereka ingin hidup sehat dan normal, tetapi takdir kehidupan membuat mereka harus menderita penyakit tersebut. Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?
dr. Fazia, Dokter Umum, Pemerhati Kesehatan Jiwa di Aceh. Email: fazia.mahdi@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer